Sabtu, 10 Januari 2009

Kita Punya Batu Bara, Tetangga Menangguk Laba

Kecil tapi tajir. Itulah Coaltrade Services International Pte Ltd, perusahaan
trading yang berkantor di 1 Finlayson Green 16-01, Singapura. Meski cuma
diawaki lima orang, perusahaan trading batu bara itu sanggup mencetak laba
bersih yang jumlahnya sungguh mencengangkan, yakni US$ 42,4 juta, sekitar Rp 380 milyar, pada 2005. Ini berdasar laporan keuangan yang disahkan Kantor Akuntan Low, Yap & Associates, pada 17 April 2006.

Setiap tahun, rata-rata Coaltrade menjual 6 juta ton batu bara yang dihasilkan PT Adaro Indonesia, dan 4 juta ton lagi dari produsen lain. Melihat kebolehan
Coaltrade sebagai perusahaan mini yang mampu mencetak laba luar biasa, dugaan miring pun mengarah padanya. Seorang yang mengaku tahu sepak terjang Coaltrade menelepon Gatra, beberapa waktu lalu. "Ada yang aneh dari hubungan antara Adaro dan Coaltrade," kata sumber yang tak mau disebut namanya itu.

Rupanya sumber Gatra itu tidak cuma menelepon. Ia pun mengirim dokumen laporan keuangan Coaltrade sepanjang tahun 2001-2005, profil direksi dan karyawannya, daftar harga batu bara pada sembilan bulan pertama 2005, di samping dokumen Adaro Bond Offering Prospectus tertanggal 22 November 2005. Meski fotokopian, sumber tersebut mengklaim bahwa isi dokumen itu valid.

Melalui telepon, Gatra mencoba meminta waktu untuk menemuinya. Rupanya ia cuma
mau ditemui di Singapura. Maka, awal Agustus lalu, Gatra pun menemuinya di lobi
Hotel Raffless Plaza. Ia bersedia berbicara panjang lebar kepada Gatra, didampingi seorang kawannya yang mengaku seorang profesional invesment bank. "Tapi jangan sebut nama saya," kata mereka.

Dari kedua sumber tersebut mengalir cerita tentang laporan keuangan Coaltrade.
Dari tahun 2001 hingga 2003, perusahaan itu hanya dioperasikan tiga orang.
Mulai 2004 dioperasikan lima orang, terdiri dari dua direktur, seorang manajer,
dan dua sekretaris. Dengan awak yang ramping itu, keuntungan bersih yang dapat
diraihnya toh tergolong luar biasa.

Dari 2001 hingga 2005, menurut sumber itu, laba bersih Coaltrade berturut-turut
US$ 3,52 juta, US$ 17,08 juta, US$ 15,22 juta, US$ 28,49 juta, dan US$ 42,4
juta. "Luar biasa sekali. Bagaimana bisa meng-handle masalah administrasi,
akuntansi, dan pemasaran dengan karyawan sekecil itu. Bisa jadi, kalaupun
mereka bekerja 24 jam sehari, rasanya tak akan mampu," kata sang investment
bank tadi.

Lebih jauh, ia membuka dokumen yang bertuliskan Adaro Offering Bond Prospectus
22 November 2005. Di dalamnya termuat, antara lain, laporan keuangan Adaro
tahun 2005 (hingga kuartal ketiga) serta hubungan antara Adaro dan Coaltrade.

Laporan itu menyebutkan, laba bersih Adaro dari 2001 hingga kuartal ketiga 2005
berturut-turut adalah US$ 9,5 juta, 14,0 juta, US$ 10,3 juta, US$ 17,1 juta,
dan US$ 39,4 juta. "Nilainya pada beberapa tahun terakhir lebih kecil dari
Coaltrade yang hanya menjualkan batu baranya," kata sumber Gatra itu pula.

Dari prospektus itu diketahui bahwa harga jual batu bara Adaro yang berkualitas
5.200 kkal per kg disebut US$ 26,3 per ton. Padahal, katanya pula, harga emas
hitam di pasar internasional pada periode itu, kalau dirata-rata, US$ 42,6 per
ton. "Dengan selisih harga yang US$ 16 per ton itu, tentu saja keuntungan yang
diraih Coaltrade menjadi besar sekali," katanya.

Kalau saja penjualan itu dilakukan dua perusahaan yang tak ada hubungan
kepemilikannya, tentu tak jadi masalah. "Tapi, kalau dijual ke sister company,
dan membuat sister company itu untung gede, ya, perlu dipertanyakan," kata
sumber Gatra itu lagi. Ia lantas membuka halaman 121 Adaro Offering Bond
Prospectus. Pada diagram struktur kepemilikan sahamnya memang ada kemiripan
nama perusahaan dan kepemilikan sahamnya di Adaro maupun Coaltrade. Ia menduga,
Adaro melakukan transfer pricing.

Ia juga menyodorkan dokumen yang berisi daftar riwayat kerja Direktur
Coaltrade. Misalnya Anna Yeo Lae Choo yang menjadi Direktur Coaltrade sejak
2001. Sejak 28 Juli 2006, ia juga menjadi sekretaris di MM & NY Co Pte Ltd,
perusahaan yang bergerak di bidang restoran. "Masak iya ada direktur jadi
sekretaris di perusahaan lain," katanya.

Mulai 10 Januari 2007, Anna pun menjadi manajer di Si Bon yang bergerak di
usaha restoran. Mulai 1 Maret 2007, ia merangkap sebagai Manajer Annmarrie
Consultancy yang bergerak di usaha stenografi dan secretarial service. Di luar
itu, hingga saat ini ia pun tercatat sebagai Manajer Marie Studio, Ann-Marie
Management Services, Asia Lions, dan Hannah Trading.

Sedangkan Tan Kee Boon, sekretaris di Coaltrade, hingga saat ini juga menjadi
sekretaris di 115 perusahaan. Antara lain Beyonics International Pte Ltd, World
Fuel Services (Singapore) Pte Ltd, Axis Communications (S) Pte Ltd, dan Centre
for Robot Enhanced Surgery Pte Ltd.

Dari profil para pengurus Coaltrade itu, sumber Gatra tersebut menduga bahwa
orang yang dipasang sebagai direksi dan karyawan di Coaltrade hanyalah nominee,
dan yang melakukan kerja sesungguhnya, baik pemasaran maupun akuntansinya,
adalah orang-orang Adaro sendiri.

Untuk melihat secara lebih jernih, Gatra juga meminta pendapat Alvin Lie,
anggota Komisi VII DPR-RI yang membidangi masalah energi. Urusan batu bara
menjadi bagian dari masalah yang biasa ia tangani. Alvin Lie juga paham
mengenai perdagangan internasional, karena ia adalah master international
marketing lulusan Strathclyde University, Glasgow, Skonlandia. Alvin pun lalu
memeriksa dokumen tersebut.

"Anda tidak salah bertemu saya," katanya, diiringi senyum lebar. Alvin kembali
memeriksa angka-angka yang tertera. "Bila menilik modusnya yang biasa terjadi
selama ini, patut diduga ada praktek transfer pricing dalam hal ini. Tapi,
benar tidaknya, Dirjen Pajak yang perlu menelusurinya," ia menambahkan.

Alvin menyatakan, selisih yang tinggi antara harga penjualan batu bara dari
Adaro kepada Coaltrade dan harga internasional bisa menjadi indikasinya.
"Kalaupun model penjualannya dengan kontrak, bila selisih harga itu tinggi,
biasanya ada escape clause," katanya. Dengan escape clause itu, harga jual akan
disesuaikan, sehingga selisih dengan harga internasional tak mencolok.

Indikasi lainnya adalah adanya kemiripan nama-nama perusahaan pemegang saham
Adaro dan Coaltrade. "Kalau sama persis, ya, gampang ketahuan. Bisa jadi,
disengaja sedikit dibedakan," ujarnya. "Syukur-syukur pemilik Adaro mengaku
bahwa memang pemiliknya sama. Ini jadi lebih kuat lagi indikasi itu," tuturnya.

***

Transfer pricing adalah upaya memindahkan keuntungan oleh sebuah perusahaan di
sebuah negara kepada perusahaan lain di negara lain, yang masih ada hubungan
kepemilikan. Yang biasa dilakukan, misalnya perusahaan A di Indonesia menjual
produknya kepada perusahaan B di negara lain (masih ada hubungan kepemilikan)
dengan harga lebih murah dari harga pasar internasional.

Berikutnya, perusahaan B menjualnya kembali ke pihak lain dengan harga lebih
tinggi (harga internasional). Dengan cara ini, perusahaan B mendapat keuntungan
besar, yang pada dasarnya juga akan dinikmati si pemilik perusahaan A, karena
ia juga punya saham di perusahaan B. Biasanya lokasi negara yang dipakai
sebagai tujuan transfer pricing adalah negara yang punya tarif pajak lebih
kecil dari Indonesia, antara lain Singapura (20%) dan Hong Kong (17,5%).

Alvin Lie menyatakan, dengan cara itu, keuntungan perusahaan A menjadi lebih
kecil, sehingga pajak yang mesti dibayar juga lebih kecil. Untuk perusahaan
tambang, nilai royalti yang dibayar ke pemerintah pun lebih kecil.

Alvin menyatakan, keterbukaan informasi, khususnya dari perusahaan tambang di
Indonesia, selama ini minim. "Kami selalu dipersulit kalau minta laporan
keuangan dari perusahaan tambang," katanya. Padahal, sebagai anggota DPR yang
membidangi masalah energi, dia merasa layak menerima laporan keuangan itu.
"Meminta dari pemerintah yang selalu menerima laporan keuangan dari perusahaan
tambang juga tak gampang," ia menambahkan.

Alvin punya usul agar ke depan, DPR juga bisa mengakses laporan keuangan semua
perusahaan tambang di Indonesia. "Tidak perlu kami meminta," ujarnya. Bahkan ia
mengusung ide lain, yakni mewajibkan semua perusahaan yang mengeksploitasi
alam, seperti tambang dan kehutanan, memublikasi laporan keuangannya ke publik.
"Tidak hanya yang go public, yang perusahaan tertutup juga," katanya. "Sebab
harta di bumi Indonesia itu kan punya rakyat. Jadi, wajar saja kalau semua
orang bisa mendapatkan akses untuk mengetahuinya," ia menegaskan.

Sebab adanya kecurangan, baik dalam operasi tambang maupun penjualannya, akan
membuat pemerintah dan rakyat rugi. "Pajak jadi kecil, royalti juga kecil, yang
kemudian berimbas pada penerimaan daerah dari bagian royalti juga mengecil dan
terjadi pelarian devisa," katanya. Besarnya pajak yang mesti dibayar adalah 30%
pajak penghasilan (PPh) badan, 15% dividen, dan royalti 13,5% (7% untuk
pemerintah pusat dan 6,5% untuk pemerintah daerah serta community development).

***

Atas informasi tersebut, Gatra mencoba mengonfirmasikan dugaan transfer pricing
itu ke PT Adaro. Melalui SMS, permohonan wawancara dikirimkan. Alamatnya ke
Edwin Soeryadjaja, pemegang saham yang juga Komisaris Utama Adaro, dan Boy
Garibaldi Thohir, presiden direktur yang juga pemegang saham di Adaro.

Edwin Soeryadjaja menjawab, juga melalui SMS, meminta Gatra menemui Boy Thohir.
Ia pun menjanjikan pertemuan dengan Boy Thohir. Akhirnya pertemuan dengan Boy
Thohir terjadi pada Rabu 15 Agustus lalu di Hotel Four Seasons Jakarta. Dalam
pertemuan itu, Boy membantah semua tudingan yang dialamatkan ke Adaro maupun
Coaltrade.

Boy mengakui bahwa antara Adaro dan Coaltrade memang ada hubungan. "Coaltrade
itu memang subsidiary group kami," katanya. Soal harga jual batu bara Adaro
yang lebih rendah dari harga internasional, ini terjadi karena penjualannya
dengan kontrak. "Dan besarannya ditinjau setahun sekali," tuturnya.

Boy menambahkan, tak ada praktek transfer pricing seperti yang dituduhkan.
"Kalau saya mau macam-macam, ya, tidak akan bikin Coaltrade. Bikin yang
ngumpet-ngumpet, yang nggak ketahuan," katanya. "Kami buka di Singapura, dan
kami tidak buka di British Virgin Island atau di mana yang susah dilacak," ia
menambahkan (lihat: Kalau Ngumpet, Ya, di British Virgin Island).

Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution, yang ditemui Basfin Siregar dari
Gatra belum mau menyimpulkan tentang tudingan yang mengarah ke Adaro. "Karena
saya baru dengar informasinya. Pasti akan kami telusuri itu," ujarnya. Darmin
menyatakan, transfer pricing bisa terjadi di sebuah perusahaan. "Meski
pembuktiannya sulit," katanya.

Untuk membuktikannya, yang perlu dilacak adalah soal kepemilikan sahamnya.
"Transfer pricing itu biasanya jauh lebih praktis kalau pembelinya di sana, ada
hubungannya dengan penjualnya di sini. Baru setelah itu, kita bisa lihat,"
katanya. "Selain itu, soal harga," ia menambahkan.

Sebab, kata Darmin, transfer pricing ditandai dengan harga jual yang tidak sama
atau lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar. "Negara dirugikan kalau itu
benar-benar terjadi," katanya lagi.

Untuk mencegah agar praktek transfer pricing tak terjadi, ada syarat yang mesti
dipenuhi. "Database harus sudah lengkap sekali," ujarnya. "Dan seharusnya ada
perwakilan pajak di beberapa negara," katanya. Tujuannya, untuk membuka
informasi mengenai perusahaan-perusahaan di luar negeri yang bermitra dagang
dengan perusahaan di Indonesia. "Kita perlu itu. Dan kami sudah pernah
mengajukan ke Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri," ia menambahkan.

Darmin menyatakan, pada saat ini Ditjen Pajak tengah membedah satu per satu
profil para pembayar pajak. "Terutama yang besar-besar. Nah, dari database itu,
secara bertahap akan kelihatan ada permainan atau tidak. Karena tidak cuma
transfer pricing, terkadang ada biayanya yang dibesar-besarkan," katanya.

Irwan Andri Atmanto dan Basfin Siregar
[Laporan Khusus, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 30 Agustus 2007]

Kind regards,
Sulistiono Kertawacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar